HUKUM BERDZIKIR SECARA BERJAMAAH



BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah
 
Dewasa ini, amalan berdzikir secara berjamaah tengah marak dilakukan oleh sebagian muslimin. Bahkan, pada tanggal 18 Agustus 2003 lalu, amalan tersebut dilakukan dalam sebuah acara besar yang diselenggarakan di masjid Istiqlal Jakarta dan dihadiri sejumlah tokoh muslim Indonesia  .
Kejadian di atas menyebabkan kontroversi di kalangan muslimin Indonesia. Beberapa buku pun bermunculan untuk mengomentari acara tersebut. Sebagian buku ditulis untuk membenarkannya, dan sebagian yang lain ditulis untuk mengkritiknya. Misalkan buku yang berjudul ”Zikir Berjamaah Sunah atau Bid’ah” karya K.H. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A., buku tersebut ditulis untuk membenarkan amalan berdzikir secara berjamaah.  Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa hukum berdzikir secara berjamaah adalah sunah.   Berbeda halnya dengan buku ”Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham” karya Abu Amsaka, di dalam buku tersebut dinyatakan bahwa berdzikir secara berjamaah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 
Berdasarkan uraian di atas, penulis termotivasi untuk menelaah lebih lanjut dengan mengadakan penelitian tentang berdzikir secara berjamaah, kemudian menyusunnya dalam karya ilmiah yang berjudul HUKUM BERDZIKIR SECARA BERJAMAAH.
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa hukum berdzikir secara berjamaah?
3.    Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hukum berdzikir secara berjamaah.
4.    Kegunaan Penelitian
Penulis mengharapkan penelitian ini berguna untuk:
4.1.    Meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di kalangan muslimin tentang hukum berdzikir secara berjamaah.
4.2.    Menambah wawasan tentang Ad-Din, khususnya dalam bidang fiqih.
5.    Metodologi Penelitian
5.1.    Jenis Data
Data-data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kali.  Adapun dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan data primer ialah data milik seseorang yang penulis nukil dari kitab susunannya, bukan data milik seseorang yang dimuat dalam kitab susunan orang lain, misalnya hadits riwayat Al-Bukhari yang penulis nukil dari kitab shahihnya. 
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, artinya melalui pihak kedua, pihak ketiga, dan seterusnya.  Adapun dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan data sekunder ialah data milik seseorang yang penulis nukil dari kitab susunan orang lain, misalnya pendapat Ahmad bin Hanbal yang penulis nukil dari kitab Al-Furu' karya Ibnu Muflih.
Istilah data primer dan data sekunder hampir serupa dengan sanad 'ali dan sanad nazil dalam Ilmu Mushthalahul  Hadits. 01 - 12 05 28 P 11
Sanad 'ali adalah sanad suatu hadits yang lebih pendek daripada sanad lain dari hadits yang sama. Adapun sanad nazil adalah sanad suatu hadits yang lebih panjang daripada sanad lain dari hadits yang  sama.  
Perbandingan antara data primer dan data sekunder dengan sanad 'ali dan sanad nazil dalam makalah ini adalah data primer jalan penukilannya lebih singkat daripada data sekunder. Hal ini sebagaimana sanad ‘ali yang lebih pendek jalan periwayatannya daripada sanad nazil.
5.2.    Sumber Data
Data-data yang penulis gunakan dalam penelitian ini bersumber dari kitab tafsir, kitab hadits, kitab fiqih, kitab syarh, kitab mushthalah hadits, kitab ushul fiqih, kitab rijal, kitab tarikh, kitab ulumul qur`an, kamus, dan lain-lainnya.
5.3.    Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah penulis kumpulkan, penulis menggunakan metode reflective thinking, yaitu pengombinasian antara metode deduktif dengan metode induktif, dengan menerapkannya secara bergantian. Adapun yang dimaksud dengan metode deduktif adalah cara berpikir berdasarkan pada sesuatu yang umum untuk disimpulkan secara khusus, sedangkan metode induktif adalah cara berpikir berdasarkan pada sesuatu yang khusus untuk disimpulkan secara umum. 
Penerapan metode reflective thinking dalam makalah ini misalnya dalam menentukan derajat sebuah hadits, pertama kali, penulis meneliti kedudukan setiap rawi hadits itu berdasarkan penilaian-penilaian secara khusus dari para ahli hadits, kemudian penulis membuat kesimpulan secara umum tentang diterima tidaknya periwayatan rawi-rawi tersebut dengan menerapkan metode induktif. Setelah diketahui diterima tidaknya periwayatan rawi-rawi dalam hadits itu, penulis menerapkan metode deduktif untuk menentukan kesimpulan khusus tentang derajat hadits tersebut berdasarkan kaidah umum ilmu ushulul hadits.
Istilah deduktif dan induktif hampir serupa dengan bab idkhalul 'amm ilal khashsh dan bab idkhalul khashsh ilal 'amm dalam ilmu Ushul Fiqih. Maksud dari bab idkhalul 'amm ilal khashsh adalah memahami lafal yang umum berdasarkan lafal yang khusus, sedangkan maksud dari bab idkhalul khashsh ilal 'amm adalah memahami lafal yang khusus berdasarkan lafal yang umum.
02 - 12 06 01 P 10
6.    Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembaca dalam mengikuti alur penulisan makalah ini, penulis menyusun sistematika sebagai berikut:
Bagian awal terdiri dari judul, pengesahan, kata pengantar, dan daftar isi.
Bagian tengah terdiri dari lima bab, yaitu: Bab pertama memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua memaparkan pengertian berdzikir secara berjamaah. Bab ketiga memaparkan tentang dalil-dalil yang berkaitan dengan berdzikir secara berjamaah. Bab keempat memaparkan pendapat ulama tentang berdzikir secara berjamaah. Bab kelima memaparkan analisis data. Bab keenam berisi kesimpulan dan saran.
Adapun bagian akhir makalah ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.
 
BAB II
PENGERTIAN DAN DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN BERDZIKIR SECARA BERJAMAAH

1.    Pengertian Berdzikir secara Berjamaah
 Yang dimaksud dengan berdzikir secara berjamaah dalam makalah ini adalah berkumpulnya orang-orang untuk mengucapkan lafal-lafal dzikir, yang cara pelaksanaannya secara bersama-sama dan serentak, serta tidak diniatkan kecuali untuk ibadah.
03 - 12 06 06 P 11.18
04 - 12 06 15 P 15.02
2.    Dalil-Dalil tentang Diperbolehkannya Berdzikir secara Berjamaah
2.1.    Surat Al-Ahzab (33):41
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا .
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kalian berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak!
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan oleh Allah untuk banyak berdzikir kepada-Nya.
2.2.    Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al-Khudri Radliyallahu 'anhuma  tentang Keutamaan Majelis Dzikir
عَنْ اْلأَغَرِّ ، أَبِيْ مُسْلِمٍ ؛ أَنَّهُ قَالَ : أَشْهَدُ عَلَى أَبِيْ هُرَيْرَةَ ، وَ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ أَنَّهُ قَالَ : ((لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ، وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ ، وَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ .))
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ . 
Artinya:
Dari Al-Agharr, Abu Muslim, bahwasanya dia berkata: “Aku bersaksi bahwa Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al-Khudri bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum duduk untuk berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla kecuali para malaikat menaung-naungi mereka, kasih sayang meliputi mereka, ketenangan turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk-makhluk yang ada di sekitar-Nya. “
Muslim telah mengeluarkan hadits ini. PERHATIKAN TANDA BACA. LIHAT DI EYD
Hadits ini menerangkan bahwa suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah akan dinaung-naungi oleh para malaikat, diliputi kasih sayang, diberi ketenangan, dan disebut oleh Allah di hadapan makhluk-makhluk yang ada di sekitar-Nya.
bsd05 - 12 06 27 P 15.02
2.3.    Hadits Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu tentang Keutamaan Majelis Dzikir Lisan
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوْفُوْنَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُوْنَ أَهْلَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا وَجَدُوْا قَوْمًا يَذْكُرُوْنَ اللهَ ، تَنَادَوْا هَلُمُّوْا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّوْنَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا ، قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَ هُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِيْ ؟ قَالُوا يَقُوْلُوْنَ يُسَبِّحُوْنَكَ وَ يُكَبِّرُوْنَكَ وَ يَحْمَدُوْنَكَ وَ يُمَجِّدُوْنَكَ ، قَالَ فَيَقُوْلُ هَلْ رَأَوْنِيْ ؟ قَالَ فَيَقُوْلُوْنَ لاَ وَ اللهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُوْلُ وَ كَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي ؟ قَالَ يَقُوْلُوْنَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوْا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً ، وَ أَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْدًا وَ أَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا ، قَالَ : يَقُوْلُ فَمَا يَسْأَلُوْنِيْ ؟ قَالَ يَسْأَلُوْنَكَ الْجَنَّةَ ، قَالَ : يَقُوْلُ وَ هَلْ رَأَوْهَا ؟ قَالَ يَقُوْلُوْنَ لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ : يَقُوْلُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا ؟ قَالَ : يَقُوْلُوْنَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوْا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا ، وَ أَشَدَّ لَهَا طَلَبًا ، وَ أَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً ، قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ قَالَ : يَقُوْلُوْنَ مِنَ النَّارِ ، قَالَ يَقُوْلُ وَ هَلْ رَأَوْهَا ؟ قَالَ : يَقُوْلُوْنَ لاَ وَ اللهِ مَا رَأَوْهَا ، قَالَ : يَقُوْلُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا ؟ قَالَ : يَقُوْلُوْنَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوْا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا ، وَ أَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُوْلُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ : يَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ فِيْهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَ الَّلفْظُ لِلْبُخَاِريِّ . 
Artinya:
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari ahli dzikir. Maka apabila mereka mendapati suatu kaum yang sedang berdzikir, mereka saling memanggil: "Kemarilah, kepada keperluan kalian." Beliau bersabda: Maka mereka menaung-naungi kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka hingga mecapai langit dunia. Beliau bersabda: Maka Pemelihara mereka bertanya kepada mereka –sedangkan Dia lebih mengetahui daripada mereka- "Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?" Para Malaikat menjawab: "Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan menyanjung-Mu." Beliau bersabda: Maka Allah berkalam: "Apakah mereka melihat-Ku?" Beliau bersabda: Maka para Malaikat menjawab: "Tidak, demi Allah, mereka tidak melihat-Mu." Beliau bersabda: Maka Allah berkalam: "Bagaimana jika mereka melihat-Ku?" Beliau bersabda: Para Malaikat menjawab: "Jika mereka melihat-Mu, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Mu, lebih menyangatkan sanjungan kepada-Mu, dan lebih banyak dalam bertasbih kepada-Mu. Beliau bersabda: Allah berkalam: "Maka apa yang mereka minta kepada-Ku?" Beliau bersabda (menyebutkan jawaban malaikat): "Mereka meminta surga kepada-Mu." Beliau bersabda: Allah berkalam: "Apakah mereka melihatnya?" Beliau bersabda: Para Malaikat menjawab: "Tidak, demi Allah, wahai Pemeliharaku, mereka tidak melihatnya." Beliau bersabda: Allah berkalam: "Maka bagaimana jika mereka melihatnya?" Beliau bersabda: Para Malaikat menjawab: "Jika mereka melihatnya, lebih kuat keinginan mereka terhadapnya, lebih bersungguh-sungguh dalam mencarinya , dan lebih besar harapan mereka untuk mendapatkannya" Beliau bersabda  (menyebutkan kalam Allah): "Maka mereka meminta perlindungan dari apa?" Beliau bersabda: Para Malaikat menjawab: "Dari neraka." Beliau bersabda: Allah berkalam: "Apakah mereka melihatnya?" Beliau bersabda: Para malaikat menjawab: "Tidak, demi Allah, mereka tidak melihatnya." Beliau bersabda: Allah berkalam: "Maka bagaimana jika mereka melihatnya." Beliau bersabda: Para Malaikat menjawab: "Jika mereka melihatnya, lebih kencang lari mereka darinya dan mereka lebih takut kepadanya." Beliau bersabda: Maka Allah berkalam : "Maka Aku persaksikan kepada kalian bahwasanya Aku memberi ampunan bagi mereka." Beliau bersabda: Salah satu Malaikat dari kalangan para Malaikat berkata: "Di antara mereka ada si fulan yang bukan dari kalangan mereka, dia hanya datang untuk suatu keperluan," Allah berkalam: "Mereka adalah teman duduk-teman duduk yang menyebabkan orang yang duduk dengan mereka tidak rugi."
Muttafaqun ‘alaih, sedangkan lafal hadits ini milik Al-Bukhari.
Hadits ini menerangkan bahwa orang-orang yang berkumpul untuk bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan berdoa akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dinaung-naungi oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya, dan orang yang duduk bersama mereka akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang yang berkumpul untuk berdzikir itu walaupun dia tidak berdzikir.
Al-'Utsaimin menjelaskan bahwa majlis dzikir lisan yang dimaksud dalam hadits ini adalah majlis yang di dalamnya orang-orang  berkumpul untuk membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertakbir, dan bertahmid secara sendiri-sendiri atau majlis berkumpulnya orang-orang untuk menunaikan shalat berjamaah.  
2.4.    Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas tentang Mengeraskan Suara dalam Berdzikir sesudah Shalat Fardlu
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ  .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَالَّلفْظُ لِلْبُخَاِريِّ .  
Artinya :
Bahwasanya Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma mengabarinya (Abu Ma'bad) bahwasanya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai shalat fardlu itu biasa dilakukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abbas berkata: Dahulu, biasanya, jika mendengar suara dzikir itu, aku mengetahui bahwa mereka selesai (dari shalat)
Muttafaqun ‘alaih, sedangkan lafal hadits ini milik Al-Bukhari.
Hadits ini menerangkan bahwa mengeraskan suara dzikir setelah selesai shalat fardlu itu pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


2.5.    Atsar 'Umar bin Khaththab Radliyallahu 'anhu tentang Mengeraskan Suara dalam Bertakbir pada Hari-Hari Tasyrik
وَ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِيْ قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُوْنَ وَ يُكَبِّرُ أَهْلُ الاَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيْرًا .
أَخْرَجَهُ الْبُخَاِريُّ مُعَلَّقاً .  
Artinya :
Dan adalah 'Umar radliyallahu 'anhu bertakbir di Mina dalam kemahnya, maka penghuni masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir, dan penghuni pasar (juga) bertakbir, sampai Mina bergemuruh suara takbir.
Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari secara mu'allaq.
Atsar ini menerangkan bahwa 'Umar radliyallahu 'anhu bertakbir di dalam kemahnya di Mina pada hari-hari tasyrik lalu penghuni masjid dan penghuni pasar turut bertakbir karena mendengar takbir beliau.
3.    Dalil-Dalil tentang Tidak Diperbolehkannya Berdzikir secara Berjamaah
2.1.    Surat Al-A'raf(7):205
وَ اذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَ خِيْفَةً وَ دُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَ اْلآصَالِ وَ لاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ .
Artinya:
Dan ingatlah kepada Pemeliharamu (berdzikirlah) dalam dirimu dengan merendahkan diri, merasa takut, dan tanpa mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Maksud Ayat yang berkaitan dengan makalah ini adalah perintah untuk berdzikir dengan tanpa mengeraskan suara.
2.2.    Hadits Abu Musa Al-Asy'ary Radliyallahu ‘anhu tentang Teguran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepada Para Sahabat yang Berdzikir dengan Suara Keras
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ.
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَالَّلفْظُ لِلْبُخَاِريِّ. 
Artinya:
Dari Abu Musa Al-Asy'ari radliyallahu 'anhu, dia berkata: Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka apabila kami menaiki sebuah lembah, kami bertahlil dan bertakbir, (hingga) suara-suara kami meninggi, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Wahai para manusia, kasihanilah diri-diri kalian! Maka sesungguhnya, kalian tidak memanggil Dzat yang tuli dan gaib. Sesungguhnya Dia bersama kalian. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, Mahabarakah nama-Nya, dan Mahatinggi kemuliaan-Nya.
Muttafaqun ‘alaih, sedangkan lafal hadits ini milik Al-Bukhari.
Hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menegur para sahabat agar melirihkan suara dalam bertahlil dan bertakbir.
2.3.    Atsar ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Teguran Beliau Terhadap Suatu Halakah Dzikir
أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى    قَالَ سَمِعْتُ أَبِىْ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى اْلأَشْعَرِىُّ فَقَالَ : أَ خَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُوْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ ؟ قُلْنَا لاَ فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعاً فَقَالَ لَهُ أَبُوْ مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً قَالَ فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ قَالَ رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً حِلَقاً جُلُوْساً يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلاَةَ فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِى أَيْدِيْهِمْ حَصًا فَيَقُوْلُ كَبِّرُوْا مِائَةً فَيُكَبِّرُوْنَ مِائَةً فَيَقُوْلُ هَلِّلُوْا مِائَةً فَيُهَلِّلُوْنَ مِائَةً وَيَقُوْلُ سَبِّحُوْا مِائَةً فَيُسَبِّحُوْنَ مِائَةً قَالَ فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوْا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ ؟ ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوْا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ   حَصًا نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ قَالَ فَعُدُّوْا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِىْ نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ قَالُوا وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ قَالَ وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً يَقْرَؤُنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِى لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُوْنَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
أَخْرَجَهُ الدَّارِمِيُّ .
Artinya:
'Amr bin Yahya memberi tahu kami, dia berkata: Aku mendengar bapakku menceritakan dari bapaknya, dia berkata: Dahulu kami duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat shubuh. Maka apabila dia (‘Abdullah bin Mas’ud) keluar, kami berjalan bersamanya ke masjid. Kemudian datanglah kepada kami Abu Musa Al-Asy'ari, lalu dia berkata: "Apakah Abu ‘Abdurrahman (kun-yah ‘Abdullah bin Mas’ud) telah keluar kepada kalian?" Kami menjawab : ”Belum.” Kemudian dia (Abu Musa Al-Asy’ari) duduk bersama kami sampai ‘Abdullah bin Mas’ud keluar. Maka tatkala dia (‘Abdullah bin Mas’ud) keluar, kami bangkit menghampiri beliau bersama-sama, lalu Abu Musa berkata kepadanya: ”Wahai Abu ‘Abdurrahman, sesungguhnya di masjid tadi, aku melihat suatu perkara yang aku ingkari, dan aku tidak melihat -Alhamdulillah- kecuali kebaikan.” ‘Abdullah bin Mas’ud bertanya: ”Apa itu?” Maka Abu Musa Al-Asy’ari menjawab : ”Jika engkau masih hidup maka engkau akan melihatnya.” Dia (Abu Musa Al-Asy’ari) berkata: ” Di masjid, aku melihat suatu kaum berhalakah-halakah, duduk-duduk sedang menunggu shalat. Pada setiap halakah ada seorang laki-laki dan di tangan-tangan mereka ada kerikil. Maka laki-laki tadi berkata : ”Bertakbirlah seratus kali!” Maka mereka bertakbir seratus kali. Kemudian dia berkata : ”Bertahlillah seratus kali!” Maka mereka bertahlil seratus kali. Dan dia berkata: ”Bertasbihlah seratus kali” Maka mereka bertasbih seratus kali. ‘Abdullah bin Mas’ud bertanya: ”Maka apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa Al-Asy’ari menjawab: ”Aku tidak mengatakan sepatah kata pun kepada mereka karena menunggu pendapatmu atau perintahmu.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: ”Maka tidakkah engkau perintahkan mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka dan engkau memberi jaminan bagi mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak hilang?” Kemudian dia pergi dan kami pergi bersamanya sampai dia mendatangi salah satu halakah dari halakah-halakah itu. Maka dia berhenti pada mereka lalu berkata: ”Aku melihat kalian berbuat apa?” Mereka menjawab: ”Wahai Abu ‘Abdurrahman, kami menghitung takbir, tahlil, dan tasbih dengan kerikil-kerikil.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: ”Maka hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, maka aku menjamin kebaikan-kebaikan kalian tidak hilang walaupun sedikit. Celaka kalian wahai umat Muhammad! Betapa cepat kehancuran kalian. Sahabat-sahabat Nabi kalian shallallahu 'alaihi wa sallam itu berjumlah banyak dan baju-baju beliau ini belum usang serta wadah-wadah beliau belum pecah. Demi Dzat yang diriku di tangan-Nya, sesungguhnya kalian benar-benar berada pada agama yang lebih tertunjuki daripada agama Muhammad atau kalian para pembuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sudah berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak akan mendapatkan kebaikan tersebut? Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada kami bahwasanya ada suatu kaum yang membaca Al-Qur’an namun (bacaan mereka) tidak melampaui kerongkongan-kerongkongan mereka (tidak sampai di hati-hati mereka untuk difahami). Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka dari golongan kalian.” Lalu ‘Abdullah bin Mas’ud pun berpaling dari mereka. ‘Amr bin Salimah berkata: “Kami melihat kebanyakan orang yang berhalakah-halakah tersebut memerangi kami di hari Nahrawan bersama Khawarij.
Ad-Darimi telah mengeluarkannya.
Maksud atsar yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ’anhu menegur perbuatan mengadakan halakah dzikir yang dipimpin oleh seseorang, karena amalan itu tidak pernah disunahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
BAB IV
PENDAPAT ULAMA TENTANG BERDZIKIR SECARA BERJAMAAH
1.     Diperbolehkan
As-Suyuthi,   dan Manshur Ali Nashif   berpendapat bahwa berdzikir secara berjamaah itu diperbolehkan. Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa disebutkan:
سَأَلْتُ أَكْرَمَكَ اللهُ عَمَّا اعْتَادَهُ السَّادَةُ الصُّوْفِيَّةُ مِنْ عَقْدِ حِلَقِ الذِّكْرِ وَ الْجَهْرِ بِهِ فِيْ الْمَسَاجِدِ وَ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالتَّهْلِيْلِ وَ هَلْ ذَلِكَ مَكْرُوْهٌ أَوْ لاَ. اَلْجَوَابُ - إِنَّهُ لاَ كَرَاهَةَ فِيْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ  
Artinya:
Semoga Allah memuliakan anda, Aku (orang yang meminta fatwa kepada As-Suyuthi) bertanya tentang perbuatan mengadakan halakah dzikir, menjiharkan dzikir, dan mengeraskan suara dalam bertahlil yang biasa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin dari aliran sufi, apakah hal itu makruh atau tidak? Jawabannya: Sesungguhnya tidak ada yang makruh pada sesuatupun dari (perbuatan-perbuatan) tersebut ....
2.    Tidak Diperbolehkan
Ulama yang berpendapat bahwa berdzikir secara berjamaah itu tidak diperbolehkan, antara lain: Ahmad bin Hanbal,   Asy-Syathibi,   Ibnu Taimiyyah,   Al-Albani,   dan Al-‘Utsaimin  . Berikut ini pernyataan Al-‘Utsaimin:
. . . وَ لاَ يَلْزَمُ مِنْ هذَا أنْ يَذْكُرُوْا اللهَ  بِصَوْتٍ وَاحِدٍ ، بَلِ الْحَدِيْثُ مُطْلَقٌ لَكِنْ لَمْ يَعْهَدْ عَنِ السَّلَفِ أَنَّهُمْ يَذْكُرُوْنَ اللهَ ذِكْرًا جَمَاعِيًّا كَمَا يَفْعَلُ بَعْضُ أَهْلِ الطُّرُقِ مِنَ الصُّوْفِيَّةِ وَ غَيْرِهَا . 
Artinya:
... Dan (hadits) ini tidak menetapkan bahwa mereka (orang-orang yang berkumpul dalam majelis dzikir) itu berdzikir kepada Allah dengan suara yang serentak. Akan tetapi hadits ini mutlak (bersifat umum), dan tidak diketahui dari ulama salaf bahwasanya mereka (ulama salaf) berdzikir kepada Allah secara berjamaah sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian ahli tarekat dari madzhab sufi dan selainnya.
 
BAB V
ANALISIS
1.    Analisis Dalil-Dalil tentang Diperbolehkannya Berdzikir secara Berjamaah
1.1.    Surat Al-Ahzab (33): 41 (hlm. 6)
Ayat 41 surat Al-Ahzab ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan oleh Allah untuk banyak berdzikir kepada-Nya.
Ibnu ‘Abbas dan Mujahid menafsirkan dzikir dalam ayat ini dengan tidak melupakan Allah selamanya.   Adapun Muqatil menafsirkannya dengan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir pada setiap keadaan. 
Ayat ini menunjukkan disyariatkannya amalan berdzikir secara mutlak  , tanpa ketentuan apapun, termasuk ketentuan apakah amalan berdzikir tersebut dilakukan secara berjamaah atau tidak, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah. 
Menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mengamalkan amalan berdzikir secara berjamaah sama dengan mentaqyid (membatasi) kemutlakan ayat ini dengan ketentuan-ketentuan dalam amalan tersebut. Karena tidak ada dalil yang mendasari ketentuan-ketentuan tersebut, maka pentaqyidan ini termasuk pentaqyidan tanpa dalil.
Menurut ilmu Ushul Fiqih, nash yang bersifat mutlak tidak boleh ditaqyid, selama tidak ada dalil yang menunjukkan pentaqyidan tersebut.   Dengan demikian, pentaqyidan kemutlakan ayat ini dengan ketentuan-ketentuan dalam amalan berdzikir secara berjamaah yang tidak berdasarkan dalil merupakan pentaqyidan yang tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan surat Al-Ahzab (33): 41 ini tidak dapat dijadikan sebagai hujah untuk pengamalan berdzikir secara berjamaah, wallahu a’lamu bish shawab.
1.2.    Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri Radliyallahu ’anhuma tentang Keutamaan Majelis Dzikir (hlm. 6)
Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhuma ini berderajat shahih. 
Hadits ini menerangkan bahwa suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah akan dinaung-naungi oleh para Malaikat, diliputi kasih sayang, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan disanjung oleh Allah di hadapan makhluk-makhluk yang ada di sekitar-Nya.
Ulama menjelaskan majelis dzikir yang disebutkan dalam hadits ini sebagai majelis ta’lim dengan berbagai macam bentuknya. 
Al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa hadits ini mutlak. Dalam hadits ini tidak disebutkan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam amalan berdzikir secara berjamaah. 
Menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mengamalkan amalan berdzikir secara berjamaah sama dengan mentaqyid kemutlakan hadits ini dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam amalan tersebut. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan pada analisis surat Al-Ahzab (33): 41 (hlm. 17.), bahwa tidak ada dalil yang mendasari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam amalan berdzikir secara berjamaah, sedangkan menurut kaedah ushul fiqih, nash yang bersifat mutlak tidak boleh ditaqyid, selama tidak ada dalil yang menunjukkan pentaqyidan tersebut. Dengan demikian, pentaqyidan ini termasuk pentaqyidan tanpa dalil yang tidak dapat dibenarkan
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ’anhuma ini tidak dapat dijadikan hujah untuk pengamalan berdzikir secara berjamaah, wallahu a’lamu bish shawab.
1.3.    Hadits Abu Hurairah Radliyallahu ’anhu tentang Keutamaan Majelis Dzikir Lisan (hlm. 7)
Hadits Abu Hurairah Radliyallahu ’anhu ini berderajat shahih. 
Hadits ini menerangkan bahwa orang-orang yang berkumpul untuk bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan berdoa akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dinaung-naungi oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya, dan orang yang duduk bersama mereka akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang mereka dapatkan walaupun dia tidak berdzikir.
Menurut penulis, berkumpul untuk mengucapkan dzikir yang disebutkan pada hadits ini sifatnya mutlak, karena tidak disertai batasan dengan ketentuan apapun.
Menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mengamalkan amalan berdzikir secara berjamaah sama dengan mentaqyid kemutlakan hadits ini dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam amalan tersebut. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan pada analisis surat Al-Ahzab (33): 41 (hlm. 17.) bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak berdasarkan dalil, sehingga pentaqyidan ini termasuk pentaqyidan tanpa dalil. Menurut kaedah Ushul Fikih, nash yang bersifat mutlak tidak boleh ditaqyid, selama tidak ada dalil yang menunjukkan pentaqyidan tersebut. Dengan demikian, pentaqyidan ini tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadits ini tidak dapat dijadikan hujah untuk membenarkan amalan berdzikir secara berjamaah, wallahu a’lamu bish shawab.
1.4.    Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu ’anhu tentang Mengeraskan Suara dalam Berdzikir sesudah Shalat Fardlu (hlm. 9)
Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallahu ’anhu ini berderajat shahih.
Hadits ini menerangkan bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir setelah selesai shalat fardlu itu pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ibnu Hazm  , Al-‘Utsaimin  , dan Ibnu Baz   memahami bahwa amalan berdzikir sesudah shalat fardlu dengan mengeraskan suara yang ditunjukkan oleh hadits ini merupakan sunah . Adapun Asy-Syafi’i  , Ibnu Katsir  , Asy-Syathibi  , dan Al-Albani   memahami bahwa amalan ini hanya dilakukan untuk tujuan pengajaran dan bukan merupakan sunah .
Berdasarkan pengkajian penulis, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa amalan berdzikir sesudah shalat fardlu dengan mengeraskan suara ini hanya dilakukan untuk tujuan pengajaran dan bukan merupakan sunah, karena beberapa alasan berikut:
Pertama, riwayat-riwayat lain tentang amalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah shalat fardlu   , tidak menyebutkan adanya amalan berdzikir dengan suara keras, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syafi'i   .
Kedua, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Abbas dalam hadits ini, dapat diketahui bahwa para sahabat tidak lagi mengeraskan suara dalam berdzikir sesudah shalat fardlu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Baththal   .
Ketiga, beberapa riwayat   menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat kadang-kadang mengeraskan suara dalam berdzikir dengan tujuan pengajaran, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir   dan Al-Albani   .
Adapun tentang pengambilan hadits ini sebagai hujah untuk mengamalkan amalan berdzikir secara berjamaah, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena cara berjamaah dalam berdzikir tidak disyariatkan sama sekali, baik pada dzikir yang disyariatkan untuk diucapkan secara keras maupun dzikir yang disyariatkan untuk diucapkan secara lirih.   Dengan demikian, amalan berdzikir sesudah shalat fardlu dengan mengeraskan suara ini hanya dilakukan untuk tujuan pengajaran, itupun tidak secara berjamaah.
Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallahu ‘anhu ini tidak dapat dijadikan hujah untuk pengamalan berdzikir secara berjamaah, wallahu a'lamu bish shawab.
1.5.    Atsar 'Umar bin Al-Khaththab Radliyallahu ‘anhu tentang Mengeraskan Suara dalam Bertakbir pada Hari-Hari Tasyrik (hlm.10)
Atsar 'Umar bin Al-Khaththab radliyallahu ‘anhu ini berderajat shahih. 
Atsar ini menerangkan bahwa 'Umar radliyallahu 'anhu bertakbir di dalam kemahnya di Mina pada hari-hari tasyrik, lalu penghuni masjid dan penghuni pasar turut bertakbir karena mendengar takbir beliau.
Menurut penulis, dzikir dalam amalan berdzikir secara berjamaah tidak dapat dikiaskan pada takbir di hari-hari tasyrik karena menurut kaedah ushul fikih, kias dalam ibadah itu tidak diperbolehkan 
Selain itu, takbir yang dilakukan oleh ‘Umar dan orang-orang di sekitar beliau tersebut tidak disertai kesepakatan untuk mengucapkan secara bersama-sama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Baz  . Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Albani menyatakan:
كُلُّ ذِكْرٍ يُشْرَعُ فِيْهِ رَفْعُ الصَّوْتِ اَوْ لاَ يُشْرَعُ فَلاَ يُشْرَعُ فِيْهِ اْلإِجْتِمَاعُ الْمَذْكُوْرُ . 
Artinya:
Setiap dzikir yang disyariatkan maupun yang tidak disyariatkan mengeraskan suara padanya, maka itu tidak disyariatkan secara berjamaah padanya, sebagaimana yang telah disebutkan.
Dengan demikian, mengeraskan suara dalam bertakbir pada hari-hari tasyrik itu disyariatkan, tetapi tidak dilakukan secara berjamaah.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallahu ‘anhu ini tidak dapat dijadikan hujah untuk mengamalkan berdzikir secara berjamaah, wallahu a’lamu bish shawab.
2.    Analisis Dalil-Dalil tentang Tidak Diperbolehkannya Berdzikir secara Berjamaah
2.1.    Surat Al-A’raf (7):205 (hlm. 10)
Maksud Ayat yang berkaitan dengan makalah ini adalah perintah untuk berdzikir tanpa mengeraskan suara.
As-Suyuthi menyatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus). 
Menurut penulis, pendapat As-Suyuthi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena menurut sebuah kaedah, asal semua ayat Al-Qur’an adalah muhkam (tidak mansukh) kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan dimansukhnya ayat tersebut,   sedangkan beliau tidak menyebutkan dalil untuk menyatakan mansukhnya ayat ini.
Dengan demikian, ayat ini muhkam, wallahu a’lam.
Sebagian mufassirin berpendapat bahwa khithab (panggilan atau arah pembicaraan) ayat ini ditujukan kepada orang yang menyimak bacaan ayat Al-Qur’an dan sebagian yang lain berpendapat bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa  sallam. 
Penulis tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada orang yang menyimak bacaan ayat Al-Qur’an, karena ayat sebelumnya (S. Al-A’raf (7): 204) menyebutkan perintah untuk mendengarkan baik-baik bacaan Al-Qur'an . Apabila seseorang yang menyimak bacaan Al-Qur’an diperintahkan untuk mengucapkan dzikir, tentu hal ini menyebabkan dia tidak mendengarkan baik-baik bacaan Al-Qur'an. Dengan demikian, pendapat bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada orang yang menyimak bacaan ayat Al-Qur’an tersebut menyelisihi perintah pada ayat sebelumnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir  .
Adapun tentang pendapat yang menyatakan bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagian mufassirin berpendapat bahwa khithab ayat ini khusus ditujukan kepada beliau   , dan sebagian yang lain berpendapat bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada beliau namun berlaku bagi seluruh umat beliau   .
Penulis setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berlaku bagi seluruh umat beliau, karena tidak didapatkan dalil yang menunjukkan dikhususkannya khithab dalam ayat ini untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, sedangkan kaidah dalam hal ini adalah:
مَا خُوطِبَ بِهِ خُوطِبَتْ بِهِ الأُمَّةُ مَا لَمْ يَرِدْ نَصٌّ بِالتَّخْصِيْصِ . 
Artinya:
Apa-apa yang ditujukan (khithab) kepada beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ditujukan pula kepada umat beliau selagi tidak ada dalil pengkhususannya.
Ayat 205 surat Al-a'raf ini menunjukkan perintah untuk melirihkan suara dalam berdzikir. Berdasarkan ayat ini, ulama menjelaskan bahwa berdzikir itu harus dengan melirihkan suara, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya berdzikir dengan mengeraskan suara.  
Karena berdzikir secara berjamaah dilakukan dengan mengeraskan suara, maka perbuatan tersebut bertentangan dengan ayat ini, sehingga tidak dapat dibenarkan.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa amalan berdzikir secara berjamaah tidak dapat dibenarkan, wallahu a’lamu bish shawab.



2.2.    Hadits Abu Musa Al-Asy’ari Radliyallahu ’anhu tentang Teguran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepada Para Sahabat yang Berdzikir dengan Suara Keras Berdzikir dengan Suara Keras (hlm.10)
Hadits Abu Musa Al-Asy’ari radliyallahu ’anhu ini berderajat shahih,   sehingga dapat dijadikan hujah.
Hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menegur para sahabat agar melirihkan suara dalam bertahlil dan bertakbir.
Hadits ini menunjukkan perintah untuk melirihkan suara dalam berdzikir. Menurut sebuah kaedah Ushul Fikih, perintah untuk melakukan suatu amalan menunjukkan larangan untuk melakukan amalan yang berkebalikan dengannya  . Dengan demikian, perintah dalam hadits ini menunjukkan larangan untuk mengeraskan suara dalam berdzikir.
Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radliyallahu ’anhu ini, maka amalan berdzikir secara berjamaah tidak dapat dibenarkan, karena berdzikir secara berjamaah dilakukan dengan mengeraskan suara, sehingga perbuatan tersebut bertentangan dengan hadits ini.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa amalan berdzikir secara berjamaah tidak dapat dibenarkan, wallahu a’lamu bish shawab.
2.3.    Atsar ’Abdullah bin Mas’ud Radliyallahu ’anhu tentang Teguran Beliau terhadap Suatu Halakah Dzikir (hlm.11)
Atsar ’Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ’anhu ini dikeluarkan oleh Ad-Darimi dengan sanad hasan. 
Maksud atsar yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ’anhu menegur perbuatan mengadakan halakah dzikir yang dipimpin oleh seseorang, karena amalan itu tidak pernah disunahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Atsar ini tidak menyelisihi nas dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat yang lain. Atsar yang tidak menyelisihi nas dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat yang lain, dapat dijadikan hujah   . Dengan demikian, atsar ini dapat dijadikan hujah, wallahu a’lam.
Dari atsar ini dapat diambil pemahaman bahwa perbuatan mengadakan halakah dzikir yang dipimpin oleh seseorang merupakan perkara baru dalam agama karena tidak pernah disunahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Perkara baru dalam agama disebut bid'ah.   Maka, perbuatan mengadakan halakah dzikir yang dipimpin oleh seseorang merupakan perbuatan bid'ah.
Perbuatan mengadakan halakah dzikir dalam atsar ini sama dengan amalan berdzikir secara berjamaah karena pada halakah dzikir tersebut ada pemimpinnya sebagaimana dalam amalan berdzikir secara berjamaah. Dengan demikian atsar ini dapat dijadikan hujah untuk melarang amalan berdzikir secara berjamaah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syathibi   dan Al-Albani   .
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa atsar ini menjadi hujah untuk melarang amalan berdzikir secara berjamaah karena amalan tersebut merupakan perbuatan bid’ah, wallahu a’lamu bish shawab.
3.    Analisis Pendapat Ulama tentang Berdzikir secara Berjamaah
3.1    Diperbolehkan (hlm. 15)
Ulama yang berpendapat bahwa berdzikir secara berjamaah itu diperbolehkan adalah As-Suyuthi dan Manshur ‘Ali Nashif.
As-Suyuthi   dan Manshur ‘Ali Nashif   berhujah, di antaranya dengan hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ’anhuma tentang keutamaan majelis dzikir serta hadits Abu Hurairah radliyallahu ’anhu tentang keutamaan majelis dzikir lisan.
Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ’anhuma tentang keutamaan majelis dzikir (hlm. 6) serta hadits Abu Hurairah radliyallahu ’anhu tentang keutamaan majelis dzikir lisan (hlm. 7) ini berderajat shahih. Kedua hadits ini dapat dijadikan dalil disukainya majelis dzikir lisan, yaitu majelis dzikir yang di dalamnya tiap-tiap orang mengucapkan dzikir secara sendiri-sendiri. Adapun menjadikan kedua hadits ini sebagai dalil untuk pengamalan amalan berdzikir secara berjamaah, hal itu tidak dapat dibenarkan, karena di dalam amalan tersebut terdapat ketentuan-ketentuan tanpa dalil yang tidak ditunjukkan kedua hadits ini, sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada analisis kedua hadits tersebut (hlm. 18 dan hlm. 18-19).
Selain itu, As-Suyuthi berhujah dengan beberapa hadits antara lain: hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu, hadits Abul Jauza’, hadits Syaddad bin Aus radliyallahu 'anhu, hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallahu ‘anhu, hadits As-Sa’ib bin Khallad radliyallahu ‘anhu, dan atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallahu ‘anhu. 
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu   dan hadits Abul Jauza’   menjelaskan tentang perintah untuk memperbanyak dzikir sampai-sampai dengan sebab membanyakkan dzikir itu dikatakan sebagai orang gila atau orang yang riya’. Kedua hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujah karena berderajat dha’if, dan tidak ada syahid yang dapat mengangkat derajatnya  .
Hadits Syaddad bin Aus radliyallahu 'anhu menjelaskan tentang perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk mengangkat tangan dan berkata 'la ilaha illallah'  . Hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujah karena berderajat dha'if  .
Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallahu ‘anhu (hlm. 9) menjelaskan tentang mengeraskan suara dalam berdzikir sesudah shalat fardlu. Hadits tersebut berderajat shahih  , namun tidak dapat dijadikan hujah untuk pengamalan berdzikir secara berjamaah karena mengeraskan suara dalam berdzikir sesudah shalat fardlu yang ditunjukkan hadits itu hanya dilakukan untuk tujuan pengajaran, sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada analisis hadits tersebut (hlm. 19-21).
Hadits As-Sa’ib bin Khalad radliyallahu ‘anhu menjelaskan tentang perintah untuk mengeraskan suara dalam bertalbiyah  . Hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujah untuk pengamalan berdzikir secara berjamaah karena kias dalam ibadah itu tidak diperbolehkan  , sehingga mengkiaskan dzikir dalam amalan berdzikir secara berjamaah dengan talbiyah itu tidak dapat dibenarkan. Selain itu, disyariatkannya mengeraskan suara dalam bertalbiyah tersebut tidak menunjukkan bahwa talbiyah itu diucapkan secara berjamaah.
Adapun Atsar ‘Umar radliyallahu ‘anhu (hlm.10) yang menjelaskan tentang mengeraskan suara dalam bertakbir pada hari-hari tasyrik tersebut tidak dapat dijadikan hujah untuk pengamalan berdzikir secara berjamaah karena kias dalam ibadah itu tidak diperbolehkan, sehingga mengkiaskan dzikir dalam amalan berdzikir secara berjamaah dengan takbir pada hari-hari tasyrik itu tidak dapat dibenarkan. Selain itu, mengeraskan suara dalam bertakbir pada hari-hari tasyrik itu tidak menunjukkan diucapkannya takbir tersebut secara berjamaah, sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada analisis atsar tersebut (hlm. 21).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan berdzikir secara berjamaah itu diperbolehkan, tidak dapat diterima, wallahu a'lamu bish shawab.
3.2    Tidak Diperbolehkan (hlm.15)
Ulama yang berpendapat bahwa berdzikir secara berjamaah itu tidak diperbolehkan adalah Ahmad bin Hanbal, Asy-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Al-Albani, dan Al-‘Utsaimin.
Ahmad bin Hanbal   dan Ibnu Taimiyah   menyatakan bahwa menyengaja berkumpul untuk mengucapkan dzikir dan menjadikannya sebagai kebiasaan itu tidak diperbolehkan.
Penulis setuju dengan pendapat Ahmad dan Ibnu Taimiyah di atas, karena menyengaja berkumpul untuk mengucapkan dzikir dan menjadikannya sebagai kebiasaan itu tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Dengan demikian, menyengaja berkumpul untuk mengucapkan dzikir dan menjadikannya sebagai kebiasaan itu termasuk perkara baru dalam agama, sedangkan perkara baru yang diadakan dalam agama merupakan bid'ah.
Adapun apabila berkumpul untuk mengucapkan dzikir itu terjadi tanpa kesengajaan dan tidak dijadikan kebiasaan, hal ini tidak termasuk bid'ah karena amalan tersebut masih tercakup dalam kemutlakan hadits Abu Hurairah tentang keutamaan majelis dzikir lisan (hlm. 7).
Asy-Syathibi   dan Al-Albani   berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan dalam amalan berdzikir secara berjamaah, seperti ketentuan berdzikir dengan suara serentak itu tidak ada dalil yang menunjukkan  pensyariatannya .
Penulis setuju dengan pendapat di atas karena sepanjang penelitian, penulis tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan disyariatkannya ketentuan-ketentuan dalam amalan berdzikir secara berjamaah tersebut, sedangkan menurut sebuah kaedah, setiap perbuatan ibadah pada asalnya dilarang sampai terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatannya. 
Selain itu, Asy-Syathibi berpendapat bahwa dzikir dengan suara keras yang lazim dilakukan dalam amalan berdzikir secara berjamaah itu tidak dapat dibenarkan berdasarkan ayat 55 surat Al-A’raf yang menjelaskan tentang perintah untuk berdoa dengan melirihkan suara dan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radliyallahu ‘anhu tentang perintah untuk melirihkan suara dalam berdzikir.  
Penulis setuju dengan alasan ini sebab dzikir juga termasuk dalam pengertian doa pada ayat tersebut. . Dengan demikian, pengucapan dzikir harus dengan melirihkan suara.
Demikian pula, tentang alasan beliau dengan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radliyallahu 'anhu (hlm. 10), penulis setuju, sebab menurut sebuah kaedah ushul fikih, perintah untuk melakukan suatu amalan menunjukkan dilarangnya amalan yang berkebalikan dengannya  . Dengan demikian, perintah untuk melirihkan suara dalam berdzikir dalam hadits tersebut menunjukkan larangan mengeraskan suara dalam berdzikir, sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam analisis hadits ini (hlm. 24).
Al-'Utsaimin berpendapat bahwa amalan berdzikir secara berjamaah tidak pernah diamalkan oleh ulama salaf. 
Penulis setuju dengan pendapat tersebut sebab menurut penelitian penulis, para sahabat, tabi’in, maupun tabi’u tabi’in, tidak pernah mengamalkan amalan berdzikir secara berjamaah, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan amalan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan berdzikir secara berjamaah itu tidak diperbolehkan, dapat dibenarkan, wallahu a’lamu bish shawab.
Dari analisis dalil-dalil dan pendapat ulama yang penulis paparkan pada bab analisis ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil yang dapat dijadikan hujah untuk mengamalkan berdzikir secara berjamaah, sehingga amalan tersebut merupakan perbuatan bid’ah, wallahu a’lamu bish shawab.

 
BAB VI
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Hukum berdzikir secara berjamaah adalah bid’ah.
2.    Saran
2.1    Hendaknya muslimin berdzikir sesuai dengan tata cara yang disunahkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
2.2    Hendaknya muslimin meninggalkan amalan berdzikir secara berjamaah.
 
DAFTAR PUSTAKA

1.    Mushhaf Al-Qur`anul Karim
KELOMPOK KITAB TAFSIR
2.    Abu Hayyan, Muhammad bin Yusuf, Al-Andalusi, Al-Bahrul Muhith, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1428 H / 2007 M.
3.    Al-Alusi, Abul Fadhl Mahmud, Syihabuddin, Al-Baghdadi, Al-‘Allamah, As-Sayyid, Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Quranil ‘Adhim was Sab’il Matsani, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1415 H / 1994 M.
4.    Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali, Fathul Qadir Al-Jami’ baina Fannair Riwayati wad Dirayati min ‘Ilmit Tafsir, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1403 H / 1983 M.
5.    Ibnu Katsir, Abul Fida`, Ad-Dimasyqi, Tafsirul Qur`anil ‘Adhim, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 2004 M / 1424 H.
6.    Ibnul Jauzi, Abul Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad, Jamaluddin, Zadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1422 H / 2002 M.
KELOMPOK KITAB HADITS :
7.    ‘Abdur Razzaq, Abu Bakar ‘Abdur Razzaq bin Hammam, Ash-Shan’ani, Al-Hafidzul Kabir, Al-Mushannaf, Al-Majlisul 'Ilmi, Beirut, Lebanon, Cetakan I, I390 H / 1971 M.
8.    Ad-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Al-Fadhel bin Bahram, Al-Imamul Kabir, Sunanud Darimi, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1414 H / 1994 M.
9.    Ad-Daruquthni, ‘Ali bin ‘Umar, Al-Imamul Kabir, Sunanud Daruquthni, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1414 H / 1994 M.
10.    Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Al-Imam, Al-Musnad, Darul Hadits, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, 1426 H \ 2005 M.
11.    Al-Albani, Muhammad, Nashiruddin, Silsilatul Ahaditsish Shahihah wa Syai`in min Fiqhiha wa Fawa`idiha, Maktabatul Ma'arif, Riyadh, Tanpa Nomor Cetakan, 1415 H / 1995 M.
12.    Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain, Al-Imam, Asy-Syu’abul Iman, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1410 H / 1990 M.
13.    Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah, Al-Ju’fi, Al-Imam, Shahihul Bukhari, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
14.    An-Nasa`i, Sunanun Nasa`i bi Syarhil Hafidhi Jalaluddinis Suyuthi wa Hasyiyatil Imamis Sindi, Al-Mathba'atul Mishriyyah bil Azhar, Cetakan I, 1348 H / 1930 M.
15.    Muslim, Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Qusyairi, An-Naisaburi, Al-Imam, Shahihu Muslim, Mu`assasatu ‘Izzuddin, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1407 H / 1987 M.
KELOMPOK KITAB SYARAH HADITS :
16.    Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Asy-Syaikh, Syarhu Riyadlish Shalihin, Darubnil Haitsam, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
17.    Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman, Taudlihul Ahkam min Bulughil Maram, Daru Ibnil Haitsam, Kairo, Cetakan I, 2004 M.
18.    Ibnu Baththal, Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf bin ‘Abdul Malik, Al-Bakri, Al-Qurthubi, Al-Balansi, Asy-Syaikh, Al-’Allamah, Syarhubni Baththal, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1424 H / 2003 M.
19.    Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Al-’Asqalani, Al-Hafidz, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1416 H / 1996 M.
20.    Manshur ‘Ali Nashif, Asy-Syaikh, At-Tajul Jami’i lil Ushul fi Ahaditsir Rasul, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1418 H /1997 M.
KELOMPOK KITAB FIQIH :
21.    Al-Kasani, Abu Bakr bin Mas’ud, ‘Ala`uddin, Al-Hanafi, Al-Imam, Bada`i’ush Shana`i’ fi Tartibisy Syara`i',  Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1424 H / 2003 M.
22.    As-Sayyid Sabiq, As-Syaikh, Fiqhus Sunnah, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan IV, 1403 H / 1983 M.
23.    As-Sulaiman, Fahd bin Nashir bin Ibrahim, Majmu'u Fatawa wa Rasa'ili Fadhilatisy Syaikhi Muhammadibni Shalihil 'Utsaimin, Daruts Tsuraya, Riyadl, Cetakan II, 1426 H / 2005 M.
24.    As-Suyuthi, ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Jalaluddin, Al-Imam, Al-‘Allamah, Al-Hawi lil Fatawa, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 2010 M.
25.    Asy-Syafi’i, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Darul Fikr, Beirut, Cetakan II, 1403 H / 1983 M.
26.    Ath-Thayyar, Abu Muhammad 'Abdullah bin Muhammad bin Ahmad, Majmu’u Fatawa Samahatisy Syaikhi ’Abdil ’Azizibni ’Abdillahibni Baz, Darul Wathan, Riyadl, Cetakan I, 1416 H.
27.    Ibnu Baz, 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin 'Abdur Rahman, Majmu'u Fatawa wa Maqalatin Mutanawwi'ah, Darul Qasim, Riyadl, Tanpa Nomor Cetakan, 1421 H.
28.    Ibnu Hazm, Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id, Al-Imamul Jalil, Al-Muhaddits, Al-Faqih, Al-Muhalla, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
29.    Ibnu Muflih, Abu ‘Abdillah Muhammad, Al-Imam, Syamsudin, Al-Maqdisi, Kitabul Furu’, ‘Alamul Kutub, Beirut, Cetakan IV, 1405 H / 1985 M.
30.    Ibnu Taimiyah, Al-Imam, Al-Fatawal Kubra, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1408 H / 1987 M.
31.    Ibnu Taimiyyah, Ahmad, Taqiyyuddin, Al-Harrani, Syaikhul Islam, Majmu'atul Fatawa, Darul Wafa`, Tanpa Nama Kota, Cetakan II, 1421 H / 2001 M.
32.    Abu Ubaidah, Masyhur bin Hasan, Alu Sulaiman, Qamusul Bida’ Mustakhraj min Kutubil Imam Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Darul Imam Al-Bukhary, Daokhah, Saudi Arabia, Cet. III, 1429 H / 2008 M.
KELOMPOK KITAB TARIKH
33.    Ibnu Katsir, Abul Fida`, Ad-Dimasyqi, Al-Hafidh, Al-Bidayatu wan Nihayah, Darul Kutubil 'Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1418 H / 1997 M.
34.    Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Syamsuddin, Al-Hafidz, Al-Mu`arrikh, Tarikhul Islami wa Wafayatul Masyahiri wal A’lam, Darul Kutubil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1409 H / 1989 M.
KELOMPOK KITAB USUL FIQIH :
35.    ‘Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Hadits, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, 1423 H. / 2003 M.
36.    Al-’Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syarhul Ushuli min ‘Ilmil Ushul, Darul ‘Aqidah, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, 1425 H / 2004 M.
37.    Al-Jizani, Muhammad bin Husain bin Hasan, Ma’alimu Ushulil Fiqhi ‘inda Ahlis Sunnati wal Jama’ah, Darubnil Jauzi, Tanpa Nama Kota, Cetakan VII, 1429 H.
38.    Ar-Razi, Muhammad bin ‘Umar bin Al-Husain, Fakhruddin, Al-Imam, Al-Ushuli, An-Nadhdhar, Al-Mufassir, Al-Mahshul fi 'Ilmi Ushulil Fiqh, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1408 H / 1988 M.
39.    Az-Zuhaili, Wahbah, Ad-Duktur, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikril Mu’ashir, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1418 H / 1998 M.
KELOMPOK KITAB RIJAL :
40.    Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Syamsuddin, Al-Imam, Siyaru A’lamin Nubala`, Al-Maktabatut Taufiqiyyah, Kairo, Mesir, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
41.    Ar-Razi, Al-Imam, Al-Hafidz, Syaikhul Islam, Kitabul Jarhi wat Ta’dil, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1271 H / 1952 M.
42.    Ibnu Hajar, Abul Fadlel Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad, Al-’Asqalani, Syihabuddin, Al-Imam, Al-Hafidh, Tahdzibut Tahdzibi fi Rijalil Hadits, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1425 H / 2004 M.
43.    Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali, Al-‘Asqalani, Khatimatul Huffadz, Taqribut Tahdzib, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1413 H / 1993 M.
KELOMPOK KITAB MUSHTHALAH :
44.    A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro, Bandung, Cetakan VIII, 2002 M.
45.    Ath-Thahhan, Mahmud, Ad-Duktur, Taisiru Mushthalahil Hadits, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan,Tanpa Tahun.
46.    Ibnu Katsir, Abul Fida` Isma‘il bin ‘Umar, Al-Hafidh, Al-Ba‘itsul Hatsits Syarhu Ikhtishari ‘Ulumil Hadits, Maktabatu Darit Turats, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, 1417 H /1996 M.
47.    Al-'Abdul Lathif, 'Abdul 'Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, Ad-Duktur, Dlawabithul Jarhi wat Ta'dil, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
KELOMPOK KITAB ‘ULUMUL QUR`AN
48.    Subhish Shalih, Ad-Duktur, Mabahitsu fi ‘Ulumil Qur’an, Darul 'Ilmi lil Malayin, Beirut, Lebanon, Cetakan XXVI, 2007 M.
KELOMPOK KAMUS :
49.    Ibnu Mandhur, Al-Imam, Al-’Allamah, Lisanul ‘Arab, Daru Ihya`it Turatsil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1408 H / 1988 M.
50.    Ibrahim Unais, Dr., et al., Al-Mu’jamul Wasith, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cetakan II, Tanpa Tahun.
51.    Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan IV, 2008 M.
KELOMPOK LAIN-LAIN :
52.    Abu Amsaka, Koreksi Dzikir Jamaah M. Arifin Ilham, CV Darul Falah, Jakarta, Tanpa Nomor Cetakan, 1424 H / 2003 M.
53.    Asy-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad, Al-Lakhmi, Al-Gharnathi, Al-I’tisham, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
54.    Dimyathi, Ahmad Dimayathi Badruzzaman, K.H, Drs, M.A, Zikir Berjamaah Sunah atau Bid’ah, Republika, Jakarta, Cetakan I, 2003 M.
55.    Ibnul Qayyim, Al-Jauziyyah, Al-Imam, Jami’ul Adab, Darul Wafa', Al-Manshurah, Cetakan II, 1426 H / 2005 M.
56.    Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE, UII, Yogyakarta, Cetakan VII, 2000 M.
57.    Wizaratul Auqafi wasy Syu'unil Islamiyah, Al-Mausu'atul Fiqhiyyah, Wizaratul Auqafi wasy Syu'unil Islamiyah, Kuwait, Cetakan V, 1424 H / 2004 M.
 
LAMPIRAN
1.    Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudriyyi Radliyallahu ’anhuma tentang Keutamaan Majelis Dzikir (hlm. 6)
Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudriyyi ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya. Hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya tergolong hadits shahih tingkatan ketiga  , wallahu a’lamu bish shawab.
2.    Hadits Abu Hurairah Radliyallahu ’anhu tentang Keutamaan Majelis Dzikir dengan Lisan (hlm. 7)
Hadits Abu Hurairah ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka. Hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka tergolong hadits shahih tingkatan pertama   , wallahu a’lamu bish shawab.
3.    Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu ’anhu tentang Mengeraskan Suara dalam Berdzikir sesudah Shalat Fardlu (hlm. 9)
Hadits ’Abdullah bin ‘Abbas ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka. Hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka tergolong hadits shahih tingkatan pertama   , wallahu a’lamu bish shawab.
4.    Hadits Abu Musa Al-Asy’ari Radliyallahu ’anhu tentang Teguran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Para Sahabat yang Berdzikir dengan Suara Keras (hlm. 10)
Hadits Abu Musa Al-Asy’ari ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka. Hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka tergolong hadits shahih tingkatan pertama   , wallahu a’lamu bish shawab.


5.    Hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radliyallahu ‘anhu tentang Perintah Untuk Memperbanyak Dzikir Sampai-Sampai dengan Sebab Memperbanyak Dzikir itu Dikatakan sebagai Orang Gila (hlm. 26)  
Sanad hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ahmad ini adalah:
1)    Suraij 
2)    Ibnu Wahb  
3)    ‘Amr bin Al-Harits 
4)    Darraj (bin Sam'an)
5)    Abul Haitsam 
6)    Abu Sa’id Al-Khudri
Rawi-rawi pada sanad hadits ini semuanya tsiqat, kecuali Darraj bin Sam'an. Ad-Daruquthni mengatakan bahwa dia dla'if. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa haditsnya munkar. Ibnu 'Adi menyebutkan bahwa salah satu hadits Darraj yang diingkari adalah hadits tentang perintah untuk memperbanyak dzikir sampai-sampai dengan sebab memperbanyak dzikir itu dikatakan sebagai orang gila. 
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits Abu Sa'id Al-Khudri ini merupakan hadits dla'if, wallahu a’lamu bish shawab.
6.    Hadits Abul Jauza’ tentang Perintah Untuk Memperbanyak Dzikir Sampai-Sampai dengan Sebab Memperbanyak Dzikir itu Dikatakan oleh Orang-Orang Munafiq sebagai Orang yang Riya’ (hlm. 26)
Sanad hadits Abul Jauza' yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqi ini adalah:
1)    Abu 'Abdillah Al-Hafidz 
2)    Isma’il bin Muhammad bin Al-Fadhel Asy-Sya’rani 
3)    Kakeknya (Al- Fadhel Asy-Sya’rani)
4)    Abu Taubah 
5)    Ibnul Mubarak 
6)    Sa'id bin Zaid 
7)    'Amr bin Malik 
8)    Abul Jauza’ 
Rawi-rawi pada sanad hadits ini semuanya tsiqat dan shaduq, kecuali Al- Fadhel Asy-Sya’rani.
Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Al-Fadhel Asy-Sya’rani adalah rawi yang dibicarakan oleh para ulama tentang dirinya  , sedangkan Abu 'Abdillah bin Al-Akhram mengatakan bahwa dia shaduq dan fanatik pada madzhab syi’ah.   Rawi yang dibicarakan oleh ulama tentang dirinya merupakan rawi dla’if martabat keenam. 
Selain itu, dalam sanad hadits ini, terdapat rawi bernama Abul Jauza’ yang merupakan seorang rawi tsiqat, tetapi dia merupakan seorang tabi’i.   Abul Jauza’ meriwayatkan hadits ini secara langsung dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tanpa menyebutkan nama seorang sahabat yang menceritakan kepadanya. Hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi'i langsung dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tanpa menyebut nama orang yang menceritakan kepadanya merupakan hadits mursal.   Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadits ini merupakan hadits mursal. Hadits mursal merupakan hadits dla’if.  
Karena kedla’ifan sebagian rawi dan mursalnya hadits Abul Jauza’ ini, penulis menyimpulkan bahwa hadits ini berderajat dla'if, wallahu a’lamu bish shawab.
7.    Hadits Syaddad bin Aus Radliyallahu 'anhu tentang Perintah untuk Mengangkat Tangan dan Berkata 'La Ilaha Illallah' (hlm. 26)
Sanad hadits Syaddad bin Aus radliyallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ahmad ini adalah:
1)    Abdullah 
2)    Bapaknya (Ahmad bin Muhammad bin Hanbal) 
3)    Al-Hakam bin Nafi’ 
4)    Isma’il bin ’Ayyasy 
5)    Rasyid bin Dawud
6)    Ya’la bin Syaddad  
7)    Syaddad bin Aus
Rawi-rawi pada sanad hadits ini semuanya tsiqat dan shaduq, kecuali Rasyid bin Dawud.
Tentang Rasyid bin Dawud, Ad-Daruquthni mengatakan bahwa dia:  ضَعِيْفٌ لاَ يُعْتَبَرُ بِهِ (rawi dha'if, tidak diterima riwayatnya), sedangkan Al-Bukhari mengatakan: فِيْهِ نَظَرٌ (padanya ada sesuatu yang harus diperhatikan).  Ibnu Katsir menjelaskan bahwa celaan فِيْهِ نَظَرٌ apabila yang mengatakannya adalah Al-Bukhari, maka celaan tersebut merupakan celaan yang paling jelek. 
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits Syaddad bin Aus ini merupakan hadits dla'if, wallahu a’lamu bish shawab.
8.    Hadits As-Sa'ib bin Khalad Radliyallahu ‘anhu tentang Perintah untuk Mengeraskan Suara dalam Bertalbiyah (hlm. 27)
Sanad hadits As-Sa'ib bin Khalad radliyallahu ‘anhu yang dikeluarkan An-Nasa'i ini adalah:
1)    Ishaq bin Ibrahim  
2)    Sufyan  
3)    'Abdullah bin Abu Bakr 
4)    'Abdul Malik bin Abu Bakr 
5)    Khallad bin As-Sa'ib  
6)    Bapaknya (As-Sa'ib bin Khallad)
Berdasarkan penelitian penulis, sanad hadits ini bersambung dan semua rawinya adalah rawi tsiqat. Dengan demikian, atsar ini berderajat shahih, wallahu a'lamu bish shawab.
9.    Atsar ’Abdullah bin Mas’ud Radliyallahu ’anhu tentang Teguran Beliau Terhadap Suatu Halakah Dzikir (hlm. 11)
Sanad atsar ’Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ad-Darimi ini adalah:
1.    Al-Hakam bin Al-Mubarak
2.    ‘Amr bin Yahya  
3.    Bapaknya (Yahya bin ‘Amr) 
4.    Bapaknya (‘Amr bin Salimah) 
5.    ‘Abdullah bin Mas’ud
Rawi-rawi pada sanad atsar ini semuanya tsiqat, kecuali Al-Hakam bin Al-Mubarak. Ibnu Hajar mengatakan bahwa dia: صَدُوْقٌ رُبَمَا وَهِمَ (sangat jujur, kadang-kadang bingung).  
Sifat صَدُوْقٌ termasuk sifat rawi hasan.   Adapun sifat wahm dalam pernyataan رُبَمَا وَهِمَ merupakan suatu celaan yang tidak memengaruhi ketsiqatan rawi   . Dengan demikian, sanad atsar ini berderajat hasan, wallahu a’lam.
10.    Atsar 'Umar bin Al-Khaththab Radliyallahu ’anhu tentang Mengeraskan Suara dalam Bertakbir di Hari-Hari Tasyrik (hlm. 10)
Atsar 'Umar bin Al-Khaththab ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahihnya secara mu’allaq  . Beliau meriwayatkan atsar ini dengan lafal قَالَ. Lafal قَالَ adalah salah satu sighah jazm     . Riwayat mu’allaq dalam kitab Shahihul Bukhari apabila disebutkan dengan sighah jazm, maka dihukumi shahih  . Jadi, atsar ini dihukumi shahih, wallahu a’lamu bish shawab

MARS DAN PANCA PRASTYA PPS.BENTENG PERSADA


Mars Benteng Persada










MARS BENTENG PERSADA

MARS PPS. BENTENG PERSADA
KAMI PUTRA – PUTRI BENTENG PERSADA
BERJUANG MEMPERTAHANKAN NEGARA
MENGGALANG PERSATUAN DAN KESATUAN
MENEGAKAN KEBENARAN DAN KEADILAN

BERKAT RAHMAT ILAHI
KAMI MAJU BERANI
MENGANGKAT DERAJAT NEGERI
AGAR TETAP DISEGANI

WAHAI GENERASI PUTRA PERSADA
MARI KITA BANGKIT DAN BERJUANG
DEMI NEGERI YANG TERCINTA
AGAR TETAP AMAN SENTOSA

YA ALLOH YA TUHAN KAMI
ROBBUL INSANI
AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI
DEKATKANLAH DENGAN RIDLOMU ROBBI
AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI
DEKATKANLAH DENGAN RIDLOMU ROBBI

Printed By Korlat Roudlotut Tholibin Kedawon



PANCA PRASTYA (JANJI SETIA PERGURUAN)

Ahad,27 Oktober 2013










1. Bertakwa Kepada Alloh SWT.

2. Bersifat Kesatria Dan Mengutamakan         Persahabatan

3.Sanggup Memelihara Dan Menanamkan Budi Pekerti Mulia

4. Siap Sedia Menolong Sesama Manusia Serta Mentaati Tata Tertib Perguruan

5. Menjunjung nama baik orang tua,
Bangsa dan negara serta agama